topmetro.news – Anggota DPR RI Ir Lamhot Sinaga menyampaikan reaksi keras terhadap rencana penghentian Festival Danau Toba (FDT) oleh kebijakan ‘tidak populer’ Gubernur Sumut. Reaksi ini juga menyusul derasnya rasa keberatan dari masyarakat Sumatera Utara. Terutama yang menghuni tujuh kabupaten yang berada di lingkar danau.
“Sangat disayangkan. Mungkin Pak Gubernur tidak memahami makna secara mendalam terhadap FDT,” kata alumni SD, SMP Santo Yosef Lintongnihuta ini.
“Bahwa, FDT dilaksanakan bukan hanya semata-mata untuk mendatangkan wisatawan mancanegara. Tetapi itu adalah sebuah tradisi pagelaran budaya yang dilaksanakan oleh seluruh masyarakat kultur danau yang tinggal di Tapanuli Utara, Dairi, Karo, Simalungun, Humbang Hasundutan, Samosir, dan Toba Samosir,” kata politisi Partai Golkar ini, Kamis (16/1/2020), di Sipoholon, Taput.
“Nah, makna ini mungkin tidak dipahami. Gubernur, hanya berpikir bahwa dilaksanakannya FDT hanya untuk mendatangkan wisatawan mancanegara. “Bahwa itu salah satu tujuan betul. Tetapi tujuan utamanya adalah festival budaya ini harus dilaksanakan setiap tahun dan sebagai salah satu wujud pelestarian tradisi dan budaya. Buktinya, pelaksanaannya pun digilir oleh antar kabupaten,” katanya lagi.
Pria kelahiran di Lintongnihuta, 8 Februari 1973 ini diwawancarai topmetronews, usai menyampaikan kata penghiburan pada acara pemakaman ayahanda dari Ketua Partai Golkar Taput FL Fernando Simanjuntak, di Sipoholon.
Pahami Makna FDT
Ia mengatakan, kalau gubernur mempunyai alasan bahwa akan dikaitkan atau dikemas dalam even yang lain dengan thema mendatangkan wisatawan, itu bukan penyelesaian masalah. Seharusnya, menurut legislator di Senayan ini, Festival Danau Toba tetap dilaksanakan.
“Formatnya diubah silahkan. Tapi jangan dihentikan,” tandas Lamhot.
Ia melanjutkan, apabila ada disitu kreatifitas lain yang dikreasikan oleh Gubsu ataupun Pemprov Sumut, tidak masalah. “Bagus-bagus saja. Tetapi bukan berarti harus dihentikan,” ucapnya.
Lamhot Sinaga kembali mengulangi perkataanya, bahwa, barangkali gubernur tidak paham atau tidak mengerti makna sebenarnya terhadap FDT. “Harap diingat, FDT sarat dengan khasanah budaya dari seluruh elemen masyarakat yang bertajuk kearifan lokal yang dipertontonkan dan dapat dinikmati masyarakat umum,” katanya.
Kemudian menurut Lamhot, kehadiran wisatawan mancanegara ke Danau Toba bukan hanya karena festival itu. “Itu tidak punya koneksi khusus. Sekarang bagaimana kita mengembangkan kawasan Danau Toba ini,” tandasnya.
Apakah kebijakan Gubsu dengan rencana penghentian FDT ini sudah mengusik peradaban dan kultur masyarakat di sekitar Danau Toba? “Nah itu tadi. Paling tidak ia sudah menghentikan proses festival atau pagelaran budaya yang turun-temurun. Itu yang tidak dipahami oleh Beliau,” sebutnya.
Lamhot Sinaga pun mengatakan, mestinya Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi, mempertimbangkan kembali keputusan penghentian. “Nah. Saya berharap masih bisa dilaksanakan. Karena ini kan masih Bulan Januari. Pak Gubsu masih punya waktu mempertimbangkan kembali terhadap penghentian FDT ini,” imbuhnya.
“Jika memungkinkan, itu tetap dilaksanakan tahun 2020. Kalaupun format pelaksanaannya ada kreatifitas baru, bagus-bagus aja. Silahkan, gak masalah. Tapi jangan dihentikan,” pungkasnya.
BACA JUGA | Ketua DPRDSU tak Setuju Keputusan Gubsu Tiadakan FDT 2020
Kaji Ulang Jadwal
Seperti diketahui, wacana penghentian FDT menjadi viral di jejaring media sosial Facebook dan grup-grup besar WhatsApp. Kebijakan Pemprov Sumut ini dianggap telah mengusik tradisi dan kultur masyarakat di kawasan Danau Toba.
Selain ‘membully’ Gubsu, rata-rata netizen menolak keras dan mempertanyakan alasan penghentian FDT.
Sementara itu, sejumlah masyarakat juga mengusulkan agar pelaksanaan FDT sebaiknya dilaksanakan di pertengahan tahun (saat liburan panjang). Sebab, pelaksanan FDT tahun 2019 dilaksanakan tanggal 9-12 Desember.
“Kalau di Bulan Desember waktunya sangat mepet. Sebab itu berada di tengah persiapan Umat Nasrani menyambut Hari Natal,” ujar Trina Sibarani, salah seorang wisatawan, yang ditemui di Muara baru-baru ini.
reporter | Jan Piter Simorangkir